Kisah Muallaf

SAIDAH RAOLIE: Aku dan anakku yakin akan kebenaran Islam II

Dikirim tanggal May 11, 2015 9:39:08 AM 1,117 Kali dibaca

SAIDAH RAOLIE: Aku dan anakku yakin akan kebenaran Islam II
Ketika itu seperti biasa kami menjalani hari-hari tanpa kekhawatiran, kegelisahan, dan kecurigaan. Semuanya berjalan normal layaknya keluarga kecil yang baru membina rumah tangga. Suamiku bersikap lembut kepadaku dan anak-anak. Ia pun berangkat bekerja sebagai seorang kuli bangunan yang berangkat pagi, pulang petang, tidak ada hal yang mencurigakan terjadi padanya. Ini berjalan selama satu bulan pasca persalinanku yang melahirkan buah hati kedua  kami. Pada bulan kedua pasca aku melahirkan barulah terjadi perubahan pada suamiku. Sikapnya sudah mulai berubah. Ia terpengaruh oleh teman-temannya. Ia mulai menampakkan sikap yang tidak memperdulikan kami. Jangankan menggendong bayinya, bertegur sapa denganku pun sangat jarang sekali, yang ia lakukan hanyalah keluar rumah pada pagi hari dan pulang menjelang malam, bahkan setiap malam minggu ia selalu pulang pagi. Aku tidak pernah tahu apa yang ia lakukan di luar. Kalau ditanya mau kemana, ia hanya menjawab ingin pergi bekerja, tanpa aku tahu kemana dan dengan siapa dia berangkat bekerja. Kelakuannya ini tentu membuatku mulai curiga, apalagi ia mulai tidak memberikan uang belanja kepadaku, padahal biasanya ia memberikan uang belanja setiap minggu. Ia mulai tidak jujur padaku. Katanya pergi bekerja setiap hari, tapi saat aku tanya kepada teman-temannya, suamiku hanya berkerja empat hari, padahal harusnya enam hari ia masuk kerja. Entah kemana ia pergi dua hari selebihnya. Gelisah, resah, dan bingung melanda diriku. Dua orang anak yang kulahirkan, sejak saat itu mulai tidak mendapatkan perhatian lagi dari ayahnya. Anak sulung kami pun terpaksa harus berhenti minum susu formula karena ketiadaan biaya. Lebih parahnya lagi, sang ayah mulai sering membentak dan berkata kasar kepada anak sulungku tanpa tahu sebab mengapa dia marah seperti itu. Tidak hanya anak, aku juga sering kali menjadi sasaran kekesalannya hingga penat rasanya pikiranku. Meski memiliki seorang suami, tapi aku seperti hidup sendiri. Membesarkan dua orang anak sendirian. Suami hanya sibuk mengurusi dirinya sendiri. Tidak satu atau dua minggu, hal ini berlangsung berbulan-bulan. Penderitaan batin yang aku alami ini tentu sangat memilukan hati. Bingung harus berbuat apa, yang bisa ku lakukan hanya memendam emosi dalam batinku. Bulan pertama aku bisa tahan, bulan kedua juga begitu, akan tetapi pada bulan ketiga rasa penat yang ku pendam selama ini memuncak dan meledak. Ketika ia marah kepadaku, aku pun kembali membalas amarahnya dan melawan. Adu mulut pun terjadi antara kami, hingga tetangga rumah ditempat kami tinggal keluar rumah, mendatangi kami dan berusaha untuk melerai pertengkaran yang terjadi pada kami berdua. Awalnya tetangga tidak datang untuk melerai karena memang sudah budaya kami orang batak yang tidak bisa bicara dengan nada yang lembut. Tapi, ketika pertengkaran yang dilatarbelakangi amarah suami yang tidak tahu sebabnya itu semakin hebat, tetangga ditempat kami keluar dan melerai pertengkaran kami. Pertengkaran ini tak dapat dihindari karena bukan sekali, atau dua kali, melainkan hampir setiap hari kami bertengkar. Setiap kali pulang ke rumah, suamiku selalu saja marah meski waktu itu aku sudah berupaya untuk bersikap lembut kepadanya.  Belakangan aku baru tahu latar belakang kemarahannya itu karena ia kalah bermain judi. Uang yang diperolehnya selama bekerja, ia habiskan hanya untuk berjudi dan minum-minum tuak (minuman memabukan dari fermentasi air nira). Aroma tubuhnya tidak lagi dipenuhi dengan bau keringat seperti kebanyakan orang yang bekerja bangunan, tapi bau tuak yang sangat menyengat. Matanya merah dan bau setiap kali ia pulang. Tak ada lagi kasih sayang yang ia perlihatkan kepadaku dan anak-anak. Jangankan menggendong mereka, setiap kali pulang ia langsung masuk kamar dan tidur. “Istri mana yang tahan manghadapi sikap suami yang seperti ini?”, keluhku dalam hati hingga tak sadar air mata ini telah membasahi pipi.   Itulah yang dilakukan oleh suamiku, sehingga membuatku tidak tahan hingga akhirnya pergi dari rumah dan memutuskan untuk masuk Islam. “Begitulah, perih memang bila meningatnya, tapi aku berusaha untuk tetap tegar dan kuat. Tak ingin lagi aku mengingat masa laluku, yang aku lakukan kini hanyalah untuk masa depanku dan anak-anakku. Aku harap pembaca tidak lagi menanyakan lebih lanjut akan hal ini karena dapat membangkitkan luka lama dalam hatiku.”, harapku dalam hati. Kita lupakan kisah memilukan yang aku alami, kini aku akan memulai menceritakan kisahku dalam menemukan kebenaran agama. Ini adalah bagian yang penting dalam hidupku yang akan aku ceritakan kepada pembaca, yaitu mengapa aku memilih masuk Islam dan menetapkan Islam sebagai agamaku. Setelah aku mengalami berbagai problematika yang sangat memilukan dalam kehidupan rumah tanggaku, aku pun kemudian mencari sebuah ketenangan dengan cara melakukan diskusi dengan kakakku. Kak Fatimah. Dialah yang selalu membantuku, dari mulai saat aku ingin kuliah di Medan hingga menjadi tempatku berkeluh kesah tentang kehidupan rumah tanggaku. Sebagai seorang adik, aku sering curhat dengannya. Menceritakan keadaan rumah tanggaku, dan berharap mendapat solusi dari berbagai persoalan yang aku hadapi. Kak Fatimah pun memberikan nasehat. Ia benar-benar dapat memberikan ketenangan, apalagi yang dia sampaikan itu banyak diambil dari ajaran-ajaran Islam. Memang awalnya, aku tidak begitu asing dengan Islam, karena sebelum aku tertimpa masalah rumah tangga seperti ini, aku sering melakukan diskusi dengan kakak tentang apa sih sebenarnya Islam itu, dan bagaimana Islam memberikan jawaban atas masalah-masalah pemeluknya.  Waktu itu, kak Fatimahlah yang sering memberikan penjelasan. Singkat cerita, awal mula aku mengenal Islam di mulai pada sekitar tahun 2000, setiap dia datang ke rumah, dia selalu bercerita tentang Islam. Akan tetapi, meski kakak bercerita tentang Islam pada kami semua, namun kami tetap cuek karena kami semua adalah penganut Kristen. Kami semua tidak menghiraukan apa yang dia sampaikan. Seiring berjalannya waktu, aku secara pribadi mulai berpikir membenarkan apa yang kakak katakan. “Bener juga ya yang dikatakan kakak.”, pikirku ketika itu. Saat kakak kembali datang dari Aceh, ia kembali bercerita tentang agama kepadaku dan ibu. Katanya, perempuan dalam Islam amatlah terhormat, berbeda dengan agama lain. Islam mengajarkan setiap perempuan wajib menutup aurat. Ini sebagai salah satu bentuk upaya untuk menjaga kehormatan diri dan keluarganya. Islam menempatkan perempuan sebagai tiang dari negara, bila perempuan rusak, maka rusak pulalah negara.  Bahkan menurut kakak, sorga itu ada di telapak kaki seorang ibu yang mana ibu itu juga perempuan. Ini yang kakak katakan pada kami, dan semua perkataannya itu ia dapatkan setelah mempelajari Islam. Kakak semakin mempertegas argumennya dengan mencontohkan jamaat gereja di kampung kami. Misalnya, ketika mereka hendak masuk gereja, penampilannya sangat mencolok. Katanya; “Apalagi kalok mamak-mamak, biasanya diusahakan secantik mungkin, semenor mungkin, terus kalau pakai tas maunya berganti-ganti tiap minggu, semewah mungkin, sepatunya setinggi mungkin. Pokoknya kalau bisa tiap minggu harus ganti, padahal posisinya kan gak orang-orang mampu juga sih, biasa-biasa aja. Terus ke gereja makan permen, makan-makanan ringan apa aja, sudah itu nyanyi-nyanyi atau berdo’a bersama. Kok gini? Sama juga orang itu makan permen, makan makanan ringan jadi gak fokus. Terus pakai sepatu dibawa masuk saja ke dalam gereja, padahal entah baru menginjak apa sepatu mereka, ya dibawak masuk juga ke dalam. Sementara kalau di Islam bagi perempuan semua ditutup dari kepala sampai mata kaki ditutup semua, kalau bawa sepatu itu diletakkan di luar, jadi ke dalam itu bersih. Coba lihat aturan yang diatur dalam Kristen paling hanya setiap hari minggu saja, ke gereja gitu, paling Natal lah, paskahlah, gitu-gitu aja. Tapi, kalau di Islam ada aturannya lengkap, dari bangun tidur sampai tidur lagi, selain aturan berpakaian, aturan beribadah juga.”, kata kakak mempertegas perkataanya. Mendengar penjelasan kakak, aku pun berpikir; “Mengapa umat Kristiani berbeda dengan umat Muslim. Kalau seorang Muslimah menutup aurat, hanya terlihat wajahnya ketika beribadah, bagaimana dengan perempuan Kristen? Mereka dengan leluasa mengenakan pakaian yang mereka inginkan, termasuk pakaian you can see yang memperlihatkan aurat mereka. Lantas bagaimana mereka bisa khusuk dalam beribadah, tentu ini nantinya mengundang syahwat para lelaki.”, pikirku. Apa yang dikatakan oleh kakak kupikirkan dalam relung hatiku. Ternyata benar, yang dikatakan olehnya masuk akal bagiku dan ibu, hingga kemudian aku berkata kepadanya; “Kak aku mau dong jadi Islam, aku ingin belajar Islam.”, kataku. Medengar perkataanku itu, kakak sangat senang dan gembira seraya berkata; “Ya udah, kalau kamu mau masuk Islam, ya udah ke Aceh aja. Yuk...”, kata kakak kepadaku. Keadaanku yang sedang bertengkar dengan suami ketika itu, membuatku mengambil keputusan dengan segera. Aku pun menerima tawaran kakak untuk ikut ke Aceh dan memeluk Islam sama sepertinya. Aku berharap, dengan memeluk Islam, aku dapat menenangkan diri dan tidak lagi memikirkan suamiku. Apalagi kebanyakan orang berkata bahwa kalau masuk agama Islam, bisa menenangkan pikiran kita. Dengan pertimbangan yang tidak muluk-muluk, aku pun memutuskan untuk pergi bersama kakak ke Aceh saat itu. Akan tetapi, beberapa hari setelah keputusan itu aku ambil kakak memberikan kabar yang lain. Ia memikirkan kelanjutan nasibku apabila sudah masuk Islam dan tinggal di Aceh, pasti nanti suamiku akan menjemput dan memaksaku untuk kembali pulang, bahkan mungkin dipaksa untuk kembali memeluk agama Kristen. Pemikiran kakak tentang apa yang akan aku alami bila memilih berada di Aceh mungkin saja benar, sehingga ia pun memutuskan agar aku di bawa ke Jakarta saja, di sana ada abang sepupu yang kebetulan menjadi Kiai di Jakarta, yaitu KH. Syamsul Arifin Nababan. Selain juga karena menurut penuturan orang-orang di kampung tempat aku tinggal, Jakarta adalah tempat yang sangat bagus dan mewah. Ibu Kota negara ada di sini, berbagai macam suku bangsa juga berkumpul dalam satu wilayah yaitu di Jakarta. Belum lagi pemberitaan media yang banyak sekali yang meliput dan memberitakan tentang ibu kota ini, tentunya membuatku semakin ingin untuk pergi dan menginjakkan kaki di Jakarta. Akhirnya, aku memutuskan untuk datang ke Jakarta dan belajar Islam di pesantren bang Nababan. Aku memanggil beliau dengan sebutan abang, karena dalam tradisi Batak kami memanggil abang pada kakak sepupu laki-laki. Beliau yang mengasuh pesantren pembinaan muallaf yang sekarang menjadi tempat tinggalku beserta anak-anakku dan santri putrid lainnya yang membantu aku untuk memahami Islam. Tepat pada tanggal 31 Oktober 2014 aku tiba di Jakarta. Hingar bingar suara kendaraan membuatku memahami bahwa Jakarta amatlah penat dan sumpek. Untuk berangkat dari bandara menuju pesantren saja membutuhkan waktu yang lumayan lama, dua hingga tiga jam. Ternyata benar sekali apa yang disebutkan dalam berita di TV. Jakarta memang banyak berdiri gedung-gedung megah, akan tetapi kemegahan itu tidak lantas bisa dinikmati dengan segera karena kondisi jalan raya yang macet membuat pemandangan yang indah itu berubah menjadi sebuah kepenatan yang memancing emosi. Singkat cerita, akhirnya, aku pun tiba di sebuah rumah. Rumah yang sengaja disewa oleh pesantren untuk kami, para santriwati, yang ingin belajar Islam di sana. Maklum saja, bangunan pesantren putri sedang dilaksanakan jadi belum bisa ditempati dan membuat kami harus tinggal di rumah-rumah kontrakan. Keesokan harinya, setelah aku merasa lelah ketika berangkat dari kampung halaman ke Jakarta sudah hilang, aku pun memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dengan segera. Waktu itu, bang Nababan berkata kepadaku; “Sudah siap kau untuk masuk Islam? Sudah mantap kau rasa keputusanmu ini?”, katanya kepadaku. Aku pun dengan sigap menjawab; “Sudah bang! Keputusan yang aku ambil ini sudah bulat, jadi aku gak akan mengubah lagi keputusanku ini.”, kataku kepada beliau. Mendengar jawaban yang aku berikan tersebut, beliau pun langsung mengatakan bahwa besok aku akan disyahadatkan di rumah salah seorang pengusaha yang beralamat di perumahan Bintaro dekat pesantren. Kebetulan pengusaha tersebut kenal dekat dengan bang Nababan, sehingga beliau menawarkan diri agar aku disyahadatkan di rumahnya saja. Tibalah waktu pensyahadatan. Aku pun disyahadatkan ketika itu oleh ustadz Idham Cholid. Ia adalah ustadz yang mengajar di pesantren Annaba Center asuhan bang Nababan. Perlahan namun pasti, aku mengikuti ucapannya yang menuntunku untuk bersyahadat. Dengan terbata-bata dan dengan suara yang pelan, ku coba untuk tetap terarah, kalimat syahadat pun keluar dari mulutku, hingga kata itupun diucapkan. “Sah?”, kata ustadz Idham, bang Nababan dan hadirin yang hadir pun segera menjawab beramai-ramah; “Sah…. Alhamdulillah”, ucap mereka. Sejak saat itulah namaku dirubah dari Saidah Roulie Parapat menjadk Ummi Kalsum. Nama ini adalah pemberian dari bapak Ridwan, pengusaha yang sangat peduli kepada para muallaf dan yang mengizinkan aku untuk bersyahadat di rumah beliau. Semoga Allah Swt. memudahkan segala urusannya di dunia dan di akhirat kelak. Amin yaa rabbal ‘alamin. Setelah aku resmi menyandang nama Ummi Kalsum, pak Ridwan juga memberikan nama untuk kedua anakku. Anak yang pertama beliau beri nama Ibrahim dan yang kedua Muhammad Hasan. Sejak saat itulah aku sekeluarga menjadi pengnut Islam, akan tetapi hanya aku dan anak-anak tanpa ayah mereka. Sekembalinya dari rumah pak Ridwan, tiga hari kemudian aku merubah penampilanku yang sebelumnya tidak mengenakan jilbab, saat itu aku sudah mengenakan jilbab. Ini adalah bentuk rasa syukur dan patuhku kepada Allah, sehingga aku langsung mengenakannya. Kegembiraan yang ada pada diriku inilah kemudian yang tanpa aku sadari, kutampilkan dalam media sosial. Fotoku yang dahulu tanpa mengenakan jilbab, aku rubah menjadi diriku yang sudah mengenakan kerudung. Sontak saja ini memancing emosi suamiku. Memaang pasca hubungan rumah tangga kami tidak harmonis, aku tidak pernah mengabarinya tentang keadaanku dan anak-anakku. Aku pergi ke Jakarta pun tanpa sepengetahuannya, apalagi ketika memeluk Islam. Inilah yang membuatnya sangat sedih dan kecewa, ia pun lantas menghubungiku, padahal aku sudah mengganti nomor handphone-ku. Entah dari mana ia mendapatkannya, ia berhasil menghubungi dan  mengucapkan rasa kekecewaan dan marahnya kepadaku. Ia mengangis, seolah menyesali perbuatannya dahulu, suaranya terdengar jelas di handphone-ku. Dia berpikir aku memeluk Islam karena kegaduhan kami dalam berumah tangga, akan tetapi tidak demikian. Akhirnya, dia berkata kepadaku; “Ma..pulanglah kau, nanti aku akan berubah gak lagi main judi lagi. Pulanglah Ma… biar kita kumpul lagi sama anak-anak juga.”, katanya. Aku paham, bahwa sebenarnya keinginannya untuk mengajakku pulang ke kampung halaman bukan semata-mata karena rumah tangga kami, tetapi karena pilihanku memeluk Islam. Dia berharap, apabila aku pulang ke kampung halaman, maka aku akan kembali ke agama lamaku. Inilah sebenarnya yang dia dan keluarganya inginkan. Apalagi dalam tradisi Batak jika terdapat salah seorang dari anggota keluarga yang demikian, yaitu berpindah agama, maka ia akan menjadi pembicaraan dalam masyarakat kampung. Lebih lagi, ia akan dikucilkan oleh penduduk sekitar. Itulah sebabnya mengapa suamiku ingin kami pulang ke kampung ketika itu. Sebenarnya apa yang ia maksud ada baiknya juga, agar aku tidak dikucilkan oleh penduduk. Tapi, tekadku sudahlah bulat. Aku tidak akan lagi berpaling dari Islam dan akan teguh memagang keimananku ini. Biarlah aku dikucilkan oleh penduduk kampung, asalkan aku tidak dikucilkan oleh Allah. Biarlah aku menjadi bahan pembicaraan orang-orang kampung, asal aku tidak menjadi pembicaraan para malaikat yang membicarakan keburukanku karena telah menodai Islam. “Tak ada tawar-menawar lagi, tekadku sudah bulat dan aku tidak akan pernah merubahnya.”, ucapku dalam hati. Bujuk-rayu suamiku tidak lantas membuatku berubah pendirian. Senang bercampur sedih, itulah yang aku rasakan ketika aku pertama kali mengucapkan kalimat syahadat. Aku merasa Allah telah memberikan jalan yang terbaik bagiku dan anak-anakku.  (Bersambung)